Ushuliyyah
adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian
hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah
adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum
adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan
dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai
qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam
setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun
berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah
yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu
unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah
Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan
diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara
kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan
membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.
1.
Definisi dari Al ’Am ?
2.
Bagaimana lafadzh-lafadzh Al ‘Am ?
3.
Bagaimana Dalalah Al ‘Am ?
4.
Apa yang
dimaksud Tahshisul am (lafadz Khas) dan Dalilut Takhsis?
Makalah ini disusun
bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang definisi dari Am, lafadz-lafadz Am, Dalalah Am,
pengertian Tahshisul am, serta dalilut tahsis.
‘Am menurut bahasa artinya
merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki
pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu
".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum,
meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang
luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam
jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara
lafazh maupun makna” (Hanafiyah),
“Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua
makna atau lebih” (Al-Ghazali),
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh
tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi)
menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )"
suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih"
Suatu lafazh ‘amm yang disertai
qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i
dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus,
mempunyai dilalah yang khusus
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm
itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh
karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam
Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya
berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar
hadis:
“Allah tidak menerima sholat
seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka
hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”.
Hadits ini menunjukkan keharusan
tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat
mu’akadah saja.
2.2
Bentuk-Bentuk Lafadz Al ‘Am
Menurut jumhur ulama,
keumuman itu ditunjukan oleh lafadz-lafadz yang telah ditetapkan baginya.
Setelah diadakan penyelidikan terhadap kata-kata atau kalimat dalam bahasa
Arab, ternyata lafadz yang menunjukan umum adalah:
A. Lafadz : كُلٌّ ( setiap) dan جَـمِـيْعٌ (seluruhnya)
Contoh:
كُلُّ رَاعٍ
مَسْـءُـوْلٌ عَـنْ رَ عِـيَّـتِـةِ
Artinya
:setiap peminpin diminta
pertangung jawabtentang yang dipimpinnya
Firman Allah SWT: QS Al-Baqarah : 29
Artinya: Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Penjelasan : siapa saja yamg menjadi pemimpin akan diminta pertangung
jawabanhya oleh Allah SWT, dan apa saja semua yang ada dibumi dijadikan
allah SWT untukkepentingan manusia.
B. Lafadz mufrad ( اَلْمُـفْـرَ دُ
) yang dima’rifahkan, dengan اَلْـجِـنْـسِـيَّـة ُ“ال”
(“al” yang menunjuka “jenis”) contoh :
firman Allah SWT QS An-Nur: 2
تُؤْمِنُونَ كُنْتُمْ إِنْ اللهِ دينِ في رَأْفَةٌ بِهِما تَأْخُذْكُمْ وَلا
جَلْدَةٍ مِائَةَ مِنْهُما واحِدٍ كُلَّ وافَاجْلِدُ الزَّاني وَ الزَّانِيَةُ
بِاللهِ وَ
الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ لْيَشْهَدْ عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنينَ
Artinya; Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera..
firman Allah SWT QS Al-Maidah : 38
حَكِيمٌ عَزِيزٌ
وَاللَّهُ ۗاللَّهِ مِنَ نَكَالًا
كَسَبَا بِمَا جَزَاءً أَيْدِيَهُمَا
فَاقْطَعُوا وَالسَّارِقَةُ وَالسَّارِقُ
Artinya: Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Penjelasan : semua yang berzina baik perempuan
maupun laki-laki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki maupun perempuan
wajib dipotong tangannya.
C. Lafadzz Jama’ (
اَلْجَـمْعُ )
yang dima’rifahkan dengan : اَلْـجِـنْـسِـيَّـة
ُ “ال“ (
“al” yang menunjukan “jenis”) contoh firman Allah
Artinya : Dan
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (QS Al-Maidah :64)
firman Allah SWT QS Al-Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya; Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Penjelasan:
setiap orang yang membuatkerusakan tidak disulai oleh Allah; dan siapa saja
wanita yang ditalak leh suaminya wajib menungu tiga kali quru’
D. lafadz Mufrad (
اَلْمُـفْـرَ دُ )
dan jama’( اَلْجَـمْعُ ) yang
dima’rifatkan dengan idhaafah. Contoh:
firman Allah QS. Al-Baqarah: 231
Artinya: Dan ingatlah
nikmat Allah padamu
firman Allah SWT QS At-Taubah: 103
Artinya: Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka,
Penjelasan: Ni’mat allah SWT disini mencakup
segala macam ni’mat; dan harta mereka mencakup segala jenis harta nya.
E.
Isim
maushul (
اَ لأَ سْـمَا ءُ اْلمَـوْ صُـوْ لَـةُ ) seperti;الّذى
-
الّثى - الّذ ين -الّلا
ثى –الّلئ –و
لأثأما - dan
sebagainya contoh :
firman Allah SWT QS An-Nur :4
Artinya; Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
firman Allah SWT QS. At-Talaq: 4
الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
وَأُولاتُ وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ
حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya: Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya
firman Allah SWT QS An-nisa’: 24
Artinya : dan
dihalalkan, bagi kamu apa yang selain itu
Penjelasan: siapa saja yang menuduh wanita baik-baik
wajibdidera”delapan puluh kali dera” semua perempuan yang tidak haid yang
ditalak suaminya, iddahnya tiga bulan, semua perempuan yang hamil yang ditalak
oleh suaminya, iddahnya sampai dia melahirkan
F. isim isyarat (
اَ سْـمَـاءُ الشَّـرْطِ ) seperti مَنْ (barang
siapa)
مَـا (apa-apa) contoh:
firman Allah SWT QS An-Nisa’: 92
Artinya: Dan
barang siapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
firman Allah SWT QS Al-Baqarah: 272
Artinya; dan
apa-apa yang kamu nafkahkan dari pada harta yagn baik,niscaya kamu akan diberi
pahala dengan cukup
Penjelasan maksudnya siapa saja membunuh; dan apa
saja yang kamu nafkahkan
G. isim nakirah (
اَ سْـمُ الـنَّكِـرَ ةِ ) sesudah الـنَّـا
فِـيَـة ُ“لأ” (‘La”meniadakan)
contoh:
Sabda Nabi SAW
لأَ هِجْـرَةَ بَتعْـدَ
اْلفَـتْحِ
Artinya: tidak
ada hijrah sesudah penaklukan (Makkah)
firman Allah SWT QS Al-Baqarah: 235
Artinya; Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
Penjelasan: maksudnyasemua perpindahan dari negri
kafir ke negri Islam sesudah penaklukan Makka bukanlah hijrah namanya. Dan
samasekali tidak berdosa meminang wanita dengan sendirian yang baik.
H. Isim Istifham ( اَ
لإِسْـتِـفْهَامُ
) seperti
مَـنْ - مـَا - مَـتَى - اَيْـنَseperti
contoh
firman Allah SWT Al-Baqarah: 214
Artinya: "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.
Penjelasan: maksudnya pertolongan Allah SWT itu
bersifat umum, kapan saja diberikan.
I.
Lafadz-lafadz; كَـا فَةٌ-سَا ءِِــرٌ -قَـا
طِـبَة ٌ -
مَتعَا شِـرٌ - مَـعْـشَـرٌ - yang
artinya: semua
contoh hadist Nabi SAW
artinya: wahai
semua pemud, barang siapa diantara kamu mampu biaya(untuk kawin), maka
hendaklah dia kawin. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama Ushul Fiqh tidak berbeda pendapat dalam
hal ini:
a. Bahwa setiap lafadz dari lafadz-lafadz
Al’Aam yang telah diterangkan diatas, menurut bahasa ditetapkan untuk meliputi
dan mencakup seluruh afrad yang terkandung dalam pengertiannya.
b. Bahwa apa bila dating lafadz al-‘Aam
dalam suatu nash syara’ (ayat atau Hadist), maka ia menunjukan bahwa hokum yang
dinyatakan oleh nash itu berlaku untuk seluruh afrad yang terkandung dalam
pengertiannya.
Mereka hanya berbeda pendapat tentang sifat dilalah
(tunjukan) lafadz al-‘Aam yang belum dikhususukan kepada seluruh
afradnya, apakah dilalah qath’I ( دِلأَ
لَةٌ قَـطْـعِـيَّة ٌ ) atau dilalah yang dzhanni ( ظَـنِّـيَّـة
ٌ دِلأَ لَةٌ ). Maksudnya apakah ia secara pasti (qath’i) atau secara
berat sangka (Zhanni) meliputi dan mencakup seluruh afrad?
Menurut jumhur ulama madzhab Syafi’I, bahwa
lafadz Al-‘Aam yang belum di kuhususkan hanya pada zahirnya mencakup seluruh
afrad yang terkandung dalam pengertiannya dan tidak secara pasti. Jadi
dilalahnya kepada seluruh afrad bersifat zhanin. Apa bila dikhususujan maka
dilalahnya terhadap yang sisia dari pada afrad sesudah pengkhususan bersifat
zhanni pula. Jadi dilalah lafadz Al-‘Aam sebelum atau sesudah pengkuhususan
bersifat zanni
Menurut sebagian ulama termasuk ulama madzhab
Hanafi, bahwa lafadz Al-‘Aam yang belum di khususkan secara pasti
mencakup seluruh afrasd yang terkandung dalam pengertiannya. Jadi dilalahnya
terhadap seluruh afrad bersifat qat’I. apa bila dikhususkan, maka dilalahnya
terhadap yang sisa dari pada afrad sesudah pengkhususan bersifat zanni. Jadi
dilalah lafadz al’Aam bersifat Qat’I sebelum pengkhususan dan bersifat
zhanni setelah pengkhususan.
Akibatnya menurut jumhur al-‘Aam boleh dikhususkan
dengan dalil zanni baik untuk pengkhususan pertama, kedua dan seterusnya,
karena yang dzanni dapat di khususkan dengan dalil zanni. Sedangkan menurt
Hanafi dan kawan-kawan pengkhususan pertama terhadap lafdz Al-‘Aamtidak boleh
dengan dall zanni tetapi harus dengan dalil qat’I, karena yang qat’I hanya
dapat dikhususkan dengan dalil qat’I, tidak boleh dalil dzanni. Adapun
pengkhususan kedua, ketiga dan seterusnya boleh dengan dalil dzanni karena
dilalah Al-‘Aam yang sudah dikhususkan bersifat zanni.
Perbedaan pendapat ini akankelihatan akibatnya, apa
bila terjadi pertentangan antara Al-‘aam dan Al-Khaash. Misalnya: seorang
atasan berkata kepada bawahannya:” jangan enkau berikan barang ini kepada
siapapun”, kemudian ia berkata lagi: “ berikanlah barang ini kepada si Ali”.
Dalam hal tersebut diatas, jumhur berpendapat bahwa
didahulukan yang husus, baik yang disebut lebih dahulu baik yang disebut
kemudian, karena lafadz al-kahash dilalahnya qat’I sedangkan lafadz al-‘Aam
dilalahnya zanni.dalam hal keduanya bertentangan di dahulukan yang qat’I
dari yang zhanni. Maka dalamkejadian tersebut diatas barang itu diberikan
kepada si Ali.
Menurut ulama hanafiyah dan kawan-kawan, didahulukan
mana yang lebih dahulu disebutkan. Kalau Al-‘Aam yang lebih dahulu disebutkan,
maka Al-‘Aamlah yang dipegang, demikian pula sebaliknya, karena Al-‘Aam yang
belum dikhususukan dan Al-Khash sama-sama qar’I, sebab itu tidak dapat
membatalkan satu sama lain. Satu-satunya cara adalah berpegang kepada yang
lebih dahulu disebutkan, baik Al-‘Aam atau AlKhaash. Dalam kejadian tersebut
diatas , barang tersebut tidak boleh diberikan kepada siapapun.
2.4
Tahshisul Al ‘Am dan Dalilut
tahshis / Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan
kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah)
makna.
Takhsis adalah
mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam
Mukhashshis (peng khusus).
1.
Mukhashshish
Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a.
Istitsna
(pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
b.
Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan diharamkan bagi kamu untuk
mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah
kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi, yaitu
yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi
kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c.
Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180
:
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia meninggalkan
harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta
yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d.
Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196
:
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu,
sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai
ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat
haji.
e.
Mengganti sebagian dari keseluruhannya,
contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup
mengadakan perjalanan kepadanya.”
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus
yang berada di tempat lain
a. Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat tersebut bersifat umum,
berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak
dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat
(mukhashshish) yang lain :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan perempuan-perempuan yang
sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab
[33] : 49 :
“Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.”
b.
Hadits (men
takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli
adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan
binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang
(sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang
dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan
(dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.”
(HR Muttafaqun ‘alaihi).
c.
Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] :
11 :
“Allah mensyari’atkan bgimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan secara
ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak..
d.
Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan bagi
budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang
dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat
fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka mengerjakan
perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami.”
e.
Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] :
6 :
“Allah adalah pencipta segala
sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah bukan
pencipta bagi diriNya sendiri.
f.
Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23
:
“Sesungguhnya aku menjumpai
seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu,
serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan segala
sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang
dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g.
Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq
adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan tanyakanlah kepada mereka
(Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam ayat tersebut, dilukiskan
bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul
kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan
takhsis :
1.
Apabila didalam
ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat
menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang
menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2.
Apabila lafazh
itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya
(men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan
memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil
yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna
yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari
cakupan makna yang umum tersebut.