Dengan kemeja abu-abu dan kacamata gaul, Farhat Abbas
mendatangi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kedatangan Farhat ke pengadilan
agama untuk menghadiri persidangan cerai perdananya, 12 Februari lalu.
Farhat tidak datang sendiri. Ia didampingi juru bicaranya,
Regina Adriane Saputri. Farhat langsung menyapa awak media. "Di mana ruang
sidangnya," tanya Farhat singkat. Kemudian ia memasuki pengadilan agama
sambil diikuti Regina dan kuasa hukumnya.
Kehadiran Farhat cukup mengejutkan. Maklum, sebelumnya, ia
menyatakan tidak akan menghadiri persidangan cerainya. Mendadak ia muncul dan
menggandeng Regina, wanita yang selama ini dikait-kaitkan sebagai orang ketiga
dalam keretakan rumah tangganya dengan Nia Daniati.
Perceraian Farhat dan Nia menjadi sorotan. Sebuah fakta
mengejutkan muncul ke permukaan, saat Nia menggugat cerai Farhat ke Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, 27 Januari lalu. Nia buka-bukaan soal kondisi
sesungguhnya yang terjadi dalam rumah tangganya.
Melalui kuasa hukumnya, Susanti Agustina menyatakan,
pernikahan Nia dan Farhat sudah lama tidak harmonis. Mereka sudah pisah ranjang
sejak lama. "Sudah tujuh tahun mereka pisah ranjang. Tetapi, memang selama
ini, mereka masih tinggal serumah," kata Susanti.
Ditambahkan Susanti, ketidarharmonisan pernikahan Nia dan
Farhat, dimulai sejak beredarnya isu pernikahan siri Farhat dengan seorang
janda cantik. "Sejak isu pernikahan siri itu, tidak ada lagi hubungan
layaknya suami istri diantara mereka," ujar Susanti.
Tak hanya itu, ternyata di tahun 2005 lalu, Farhat telah
mentalak penyanyi lawas tersebut. "Dia bilang menceraikan Nia dengan harta
rumah yang di Kemang untuk Nia," ungkapnya.
Dari situ, kemudian Farhat dan Nia membuat pernyataan
tertulis mengenai harta gono gini jika mereka resmi bercerai. Berawal dari
talak tersebut, akhirnya Nia berani menggugat cerai Farhat ke Pengadilan Agama.
Alasannya? Ia mengaku sudah lelah dan ingin berpisah secara baik-baik.
Alasan lainnya, Nia merasa gerah dengan kedekatan Farhat dan
Regina. "Mbak Nia sudah nggak tahan lagi. Dia bilang ada perempuan
lain dari tahun 2005, 2006, dan sampai sekarang ternyata tidak ada perubahan.
Siapa sih yang nyaman, melihat suami pergi dengan wanita lain," ujar Susanti.
Perceraian pasangan ini berjalan alot. Selain diwarnai
kehadiran orang ketiga, kasus perceraian ini juga dihebohkan masalah tunjangan
cerai, dan Nia soal harta gono-gini. Nia tetap menuntut rumah mereka yang di
Kemang. Sementara Farhat, ingin rumah tersebut dibagi dua.
"Kemarin belum ada titik temu soal itu. Farhat ingin
membagi dua kalau masalah rumah," kata kuasa hukum Nia, Abdul Rahim.
Hal
itu dibenarkan kuasa hukum Farhat, Miftaahul Jannah.
Menurutnya, Farhat belum menyetujui keinginan Nia.
"Mobil semua untuk Nia, hanya rumah yang dimusyawarahkan," ujarnya.
Nia berniat memiliki rumah tersebut. Ia pun akan berjuang untuk mendapatkan
rumah itu.
"Nia mempertahankan rumah itu. Dibeli setelah
pernikahan mereka. Saat itu, Nia masih penyanyi kondang, diva banyak uang saat itu,"
ujar Abdul.
Sementara itu, mengenai tunjangan perceraian, mereka juga
belum terjadi kesepakatan. Farhat menjanjikan Nia akan memberikan nafkah
sebesar Rp100 juta per bulan.
"Kita mengikuti pernyataan dia saja. Dia yang membuat,
dia yang tanda tangan. Kita meminta komitmennya saja, janjinya saja. Apalagi
tertulis," ungkap Nia.
Bagaimana tanggapan Farhat soal tuntutan Nia? Diwakili kuasa
hukumnya, Miftaahul Jannah, Farhat menyatakan akan memberikan nafkah sesuai
dengan kemampuannya. "Mungkin saat itu kondisi keuangannya masih
memungkinkan, tapi saat ini, hanya mampu Rp7 juta. Jadi nafkah sesuai
kemampuan," ujarnya.
Kisruh rumah tangga Nia dan Farhat, bukan satu-satunya kasus
perceraian selebriti yang penuh drama. Sejumlah perceraian artis lainnya, juga
mendapat sorotan tajam dari publik.
Dalam sebuah kasus diatas merupakan salah satu contoh
perselisihan di dalam rumah tangga yang mempersalahkan harta dalam kehidupan
sehari-harinya. Yang di mana permasalahan tersebut harta dalam kehidupan
keluarga merupakan harta bersama. Dan di dalam sebuah rumah tangga harta bawaan
ataupun harta gono-gini sudah ada batasan-batasan pembagiannya.
Dan di sini hukum islam telah memberikan pembagian merata
dalam sebuah harta di rumah tangga. Kehidupan di dalam rumah tangga hasil upaya
yang di dapat dari seorang suami istri itu termasuk dalam kedudukan harta di
rumah tangga.
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan
penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti
makanan, pakaian,tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah
dan sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping
sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai
pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak
harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya
perselisihan dan perceraian suami isteri. Oleh sebab itu perlu ditinjau dari
beberapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi hukum
karena status harta benda sebagai salah satu simbol duniawi sering membawa mala
petaka yang fatal antara suami isteri. Hal ini terjadi karena sangat banyak di
antara pasangan suami isteri tidak mengerti dengan perkawinan yang sedang
dijalaninya secara benar
Harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana
firman Allah swt :
Artinya :"Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik".(Q.S.An Nisa' : 5)
Dari ayat di atas kami dapat memahami bahwa harta merupakan
sesuatu yang sangat sakral demi berjalannya sebuah kehidupan karena
sesungguhnya bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja akan tetapi untuk
kepentingan akhirat juga. Oleh karena itu harta tidak boleh diserahkan kepada
orang yang belum mampu mengatur harta, walaupun orang tersebut telah dewasa.
Atau secara ekonomika harta dapat didefinisikan dengan sesuatu yang dapat
disimpan (iddikhar).
Yang dimaksud harta / barang bawaan
adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh isteri dan keluarga,
sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya.
Dalam hal barang / harta bawaan
antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada percampuran antara keduanya
karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai
penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Sebelum memasuki perkawinan
adakalanya suami atau isteri sudah memiliki harta benda. Dapat saja merupakan
harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil
warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum
perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya.
Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak menggunakan
untuk keperluan apa saja.
Kedua suami isteri itu menurut pasal
89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 wajib bertanggung jawab memelihara dan
melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika
harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jika terjadi
kematian salah satu diantaranya maka yang hidup selama menjadi ahli waris dari
si mati. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana
adanya sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah
anak-anaknya.
Sebenarnya yang bertanggung jawab
secara hukum untuk menyediakan peralatan rumah tangga, seperti tempat
tidur,perabot dapur dan sebagainya adalah suami. Sekalipun mahar yang
diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut. Hal ini
karena mahar menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak istri.
Berbeda dengan pendapat golongan Maliki yang mengatakan bahwa mahar
bukan mutlak bagi istri. OLeh karena itu, ia tidak berhak membelanjakan untuk
kepentingan dirinya. Akan tetapi bagi perempuan yang miskin, ia boleh mengambil
sedikit darinya dengan cara-cara yang baik.
Dari uraian diatas kami dapat
menarik simpulan bahwa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas alat-alat rumah
tangga adalah suami,sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap
Fatimah. Disamping itu juga untuk menyenangkan hati perempuan memasuki
hari-hari pernikahan.
عن علي ر. ع.
قا ل : جهز رسو ل الله ص.م:خميل و قر بة ووسا دة حشوها ادخر (رواه النسائى)
“Dari ‘Ali RA. berkata: Rasulullah
SAW member barangbawaan pada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat air yang
terbuat ari klit dan bantal berenda.”
Berkaitan dengan mahar, menurut kami
mahar tetap sepenuhnya hak perempuan. Akan tetapi apabila si perempuan dengan
kerelaan hatinya memberikannya kepada si laki-laki maka boleh bagi laki-laki
tersebut menggunakan untuk dirinya.
Artinya : "Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian . Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 )
Pasal 85 KHI: "Adanya harta
bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri".
Pasal 35 atat 2 UU nomor 1 tahu 1974
menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi
harta benda milik bersama. Adapun harta bersama tersebut dapat meliputi benda
tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, benda berwujud atau
benda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada saat
kemudian. Hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh
masing-masing pihak yang menyebabkan bertambahnya pendapatan yang ada
hubungannya dengan profesi atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi
harta milik bersama.Sedang yang tidak berwujud dapat berupa hak atau kewajiban.
Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari
pihak lainnya. Suami atau istri tanpa persetujuan salah satu pihak tidak boleh
menjual atau memindahkan harta bersama tersebut.
Dalam hal pertanggungjawaban utang,
baik terhadap utang suami maupun istri, bias dibebankan pada hartanya masing-masing.
Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, maka
dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi apabila harta bersama tidak
mencukupi, maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau
tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.
Semua harta yang diperoleh sepasang
suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda kepunyaan
bersama. Menurut pasal 1 huruf f Inpres nomor 1 tahun 1991 mengatakan bahwa
Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan
terdaftar atau diperoleh atas nama siapa, suami atau isteri.
Disamping Allah telah menjanjikan
karunia-Nya yang banyak, tetapi tiap manusia mempunyai kewajiban untuk bekerja
mengusahakan adanya penghasilan untuk memenuhi semakin banyaknya kebutuhan
hidup, baik kebutuhan untuk masa kini dan persiapan untuk masa yang akan datang.
Semua orang harus mencari harta benda sebanyak mungkin agar meperoleh kemulyaan
yang banyak. Agar dapat memberi nafkah semua yang menjadi tanggung jawabnya.
Juga untuk membantu orang lain yang wajib dibantu menurut jalan yang diridhai
Allah.Tangan di atas (orang yang memberi) lebih mulya daripada tangan yang
dibawah (orang yang menerima pemberian). Dalam hal mengumpulakan harta benda
sebagai sarana untuk keperluan dunia agar selamat di akhirat kelak manusia
harus selalu berusaha ( ikhtiar).
Harta bersama tidak boleh terpisah
atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung. Apabila suami
isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat perceraiain barulah dapat
dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya
meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi dua setelah
dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri. Jika
pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah suami atau
isteri yang hidup terlama dan bersama anak-anak mereka.
Salah satu tujuan perkawinan adalah
mencari rezeki yang halal ( mengumpulkan harta benda). Mengenai harta yang
diperoleh selama dalam perkawinan ini tidak dipertimbangkan apakah yang
mempunyai penghasilan itu suami atau isteri. Menurut peraturan perkawinan
Indonesia nomor 136 tahun 1946 pasal 50 ayat 4 menetapkan bahwa: Apabila isteri
bekerja untuk keperluan rumah tangga, maka semua harta benda yang diperoleh
selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama.
Menurut kami walaupun telah
dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa seorang wanita tidak boleh keluar rumah
tanpa izin suaminya sekalipun itu pergi untuk berjamaah ke masjid, akan tetapi
perlu diiketahui Islam adalah agama yang halus dan selalu mengutamakan
kemaslahatan ummatnya. Oleh karena itu menurut kami seorang istri yang bekerja
diluar rumah untuk membantu penghasilan suaminya dalam mencapai kemaslahatan
keluarganya tetap diperbolehkan selama tidak keluar dari atauran syara' dan
diizinkan oleh suami.. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah yang mana seorang perempuan bernama Saudah akan keluar
rumah untuk memenuhi hajat hidupnya,kemudian mengadu kepada Nabi,dan Nabi
bersabda :
...................
فقا ل ا نه قد ا ذ ن لكن ان تخر جن لحختكن. متفق عليه
Artinya :” …………kamu kaum wanita telah diizinkan keluar untuk
memenuhi keperluanmu.”(Muttafaq Alaih)
Pada saat kebutuhan hidup yang
selalu meningkat dengan harga semua barang yang makin melambung tinggi, kalau
sifatnya darurat dapat saja para isteri bekerja di luar rumah bila diberi izin
oleh suaminya, bila pekerjaan itu layak, sesuai dengan ajaran agama Islam dan
sesuai pula dengan kodratnya sebagai wanita dalam rangka menunaikan
kewajibannya sesuai dengan pasal 30 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa
sang isteri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pengertian
Harta Gonogini
Dalam situs Asiamaya gono
-gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama
berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. DalamKamus Umum
Bahasa Indonesia, gonogini diartikan sebagai harta perolehan bersama
selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum
Islam yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini
disebut dengan istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”.
Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dikatakan juga harta gonogini adalah harta milik
bersama suami istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di
dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda
motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh
suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji
istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono gini atau
harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini
yang disebutkan di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai
berikut :
“ Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. "
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan harta gono
gini adalah harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan
menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri.
1.
Hak Istri atas Harta Gonogini
KUH Per pasal 125 : "Jika si suami tidak ada atau
berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal
itu dibutuhkan segera, maka si isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan
barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh
pengadilan negeri."
2.
Penggunaan Harta Gonogini
Ada dua macam hak dalam harta gonogini, yaitu hak milik
dan hak guna. Harta gonogini suami dan isteri memang telah menjadi hak milik
bersama, namun jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak
gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta
tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika suami
yang akan menggunakan harta gonogini, dia harus mendapat izin dari isterinya.
Demikian sebaliknya.
3.
Harta Gonogini Dalam Poligami
KUH Per 180: "Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya,
menurut hukum ada harta benda menyeluruh antara suami isteri, jika dalam
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain." Artinya, ketentuan
tentang harta gonogini juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami
isteri tersebut.
4.
Pembagian Harta Gonogini
Pembagian harta gonogini sebaiknya secara adil, agar tidak
menimbulkan ketidakadilan antara harta suami dan isteri.
KHI
Pasal 88 :"Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan
kepada Pengadilan Agama."
Jika pasangan tersebut lebih memilih cara yang lebih elegan,
yaitu dengan cara damai (musyawarah). Namun, jika memang ternyata keadilan itu
hanya bisa diperoleh melalui pengadilan maka jalan itulah yang lebih baik.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana
membagi harta gonogini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum di dalam
menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gonogini tergantung kepada kesepakatan
suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “
Ash Shulhu “ yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah
pihak ( suami istri ) setelah mereka berselisih.[31] Allah swt berfirman :
Artinya :“ Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka). “ ( Q.S.An Nisa':128 )
Ayat di atas diperkuat dengan sabda Rasulullah saw :”Perdamaian
adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram. (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian harta gonogini, salah satu dari
kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi
untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama
bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka
ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri
mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %,
atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya
diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
dalam Peradilan Agama, pasal 97, yaitu : “ Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan."
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing
mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang
bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta
gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang
mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama,
biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya,
jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat
harta gono gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik
suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi
milik istri.
Secara umum pembagian harta gonogini baru bisa
dilakukan setelah adanya gugatan cerai. Keadilan tidak mendeskriminasikan salah
satu pihak. Istri yang tidak bekerja tetap mendapat pembagian harta gono gini,
karena pekerjaan istri bersifat domestic. Begitu juga suami, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain.
Menurut kami pembagian harta gonogini atau harta bersama
tetap dengan cara musyawarah dengan memperhatikan factor-faktor lain seperti;
masing-masing penghasilan suami dan istri ataupun ta'lik nikah sebelumnya, dll.
Jadi aturan dalam KHI tidak wajib dilaksanakan. Hanya saja bersifat
mengikat bagi penduduk Indonesia karena telah di undangkan. Akan
tetapi menurut kami kita mengikuti aturan tersebut hukumnya mubah.
5. Harta
Gonogini Dalam Islam
Ada yang memandang diperbolehkan dan ada yang memandang
sebaliknya. Konsep harta gonogini beserta segala ketentuannya memang tidak
ditemukan dalam kajian fikih (Hukum Islam) klasik. Fikih Islam klasik adalah
produk hokum yang dihasilkan oleh Ulama-ulama terdahulu. Masalah harta gonogini
sesungguhnya merupakan wilayah hukum yang belum disentuh (Ghoir al Mufakkar
Fih), sebab lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa
modern ini.
Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta
gonogini. Dengan kata lain, Hukum Islam pada umumnya lebih memandang adanya
keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan istri
merupakan harta miliknya, demikian juga apa yang dihasilkan suami adalah harta
miliknya.
Pasal
86 KHI:
1) Pada dasaranya tidak ada percampuran
antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
2) Harta istri tetap menjadi hak istri
dan dikuasai penuh olehnya,demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuaai penuh olehnya.
Zahri Hamid memandang bahwa Hukum Islam mengatur system
terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan
tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum
Islam juga memeberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat
perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian
tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum.
Hal senada dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir bahwa Hukum
Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, baik suami atau istri, untuk
memiliki harta benda secara perorangan, yang tidak bisa diganggu oleh
masing-masing pihak. Pandangan Hukum Islam yang memisah harta kekayaan suami
istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami atau harta
istri yang diperoleh secara sendiri selama perkawinan, mana yang harta
gonogini. Pemisahan antara harta suami atau istri jika terjadi perceraian dalam
perkawinan mereka. Masalah harta gonogini merupakan masalah keduniawian yang
belum pernah tersentuh oleh Hukum Islam kontemporer tentang masalah ini
diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang diperoleh
suami istri bersama-sama selama masa perkawinan merupakan harta gonogini.[43] Oleh karena itu, hal-hal yang
berkenaan dengan perkawinan mereka. Termasuk masih harta benda, menjadi milik
bersama.
Menurut kami pada dasarnya mengenai gonogini tidak terdapat
pada hukum Islam klasik. Akan tetapi, modernisasi dan globalisasi yang membawa
Islam harus menjawab tentang hukum gonogini. Islam sesungguhnya hanya
membagi harta suami dan harta istri secara terpisah. Akan tetapi menurut
kami Islam memperbolehkan adanya harta bersama (syirkatul maal) atau yang
dikenal dengan harta gonogini.
6. Pewarisan
Harta Benda Milik Bersama.
Apabila
meninggal salah seorang suami atau isteri , maka yang menjadi ahli warisnya
adalah yang hidup terlama atau suami / isteri yang masih hidup dan kedua orang
tuanya. Jika keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka yang
menjadi ahli waris keduanya adalah anak-anak mereka dan kedua orang orang tua
mereka dan kerabat lainnya dengan porsi pembagian masing-masing yang telah
ditentukan besarnya porsi masing-masing ahli waris.
1. PENGERTIAN HARTA
harta merupakan sesuatu yang sangat sakral demi berjalannya
sebuah kehidupan karena sesungguhnya bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja
akan tetapi untuk kepentingan akhirat juga. Oleh karena itu harta tidak boleh
diserahkan kepada orang yang belum mampu mengatur harta, walaupun orang
tersebut telah dewasa. Atau secara ekonomika harta dapat didefinisikan dengan
sesuatu yang dapat disimpan (iddikhar).
2. JENIS JENIS HARTA
1. Harta bawaan
2. Harta bersama suami isteri
3. Harta gonogini
4. Harta penghasilan isteri dalam perkawinan
B.
SARAN
Sekian, semoga tulisan
ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang
akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang
terbaik bagi kita semua Amin.
·
Tihami,
sahrani. 2010. Fikih munakahat. Jakarta:Raja
wali pers
Tihami, sahrani. Fikih munakahat. (Raja wali pers:
Jakarta,2008). Hal. 177-179